“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30).
Ayat
tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan menurut fitrahnya dan
diperintahkan agar tetap menjaga fitrahnya tersebut. Ayat ini kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai
berikut: “Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua
orangtuanya lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau
seorang Majusi”. (Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)
Banyak
orang tua dan guru yang berusaha untuk mengadopsi ungkapan-ungkapan populer
tanpa memahami makna dan filosofi di balik ungkapan tersebut. “Reward &
punishment” seolah dianggap sebagai resep yang jitu untuk mendidik anak,
padahal dalam sejarahnya prinsip tersebut telah banyak menimbulkan masalah. “Reward
& punishment” adalah strategi motivasi yang diterapkan pada awal abad 20
terhadap pekerja pabrik-pabrik baru yang berkembang pesat sejak revolusi
industri di Eropa. Menurut konsep ini buruh dianggap sebagai komponen dari mesin
ekonomi yang harus dikelola demi kelancaran proses produksi, dan mereka
dianggap sebagai “makhluk” yang haus uang dan takut hukuman, karena pada masa
itu latar belakang pendidikan mereka rata-rata rendah. Konsep ini sering
diasosiasikan dengan istilah lain yaitu “stick and carrot” yang lazim digunakan
dalam dunia binatang seperti pacuan kuda atau balap anjing. “Stick” adalah
tongkat yang dibawa oleh sang penunggang kuda untuk memukul agar sang kuda
memacu larinya, sedang “carrot” adalah iming-iming yang biasanya digantungkan
di depan kepala sang kuda agar dikejar.
Bagaimana
bisa mereka menggunakan konsep yang serupa terhadap binatang dan manusia?
Karena menurut pemikiran Barat Sekuler, manusia adalah binatang juga. Mereka
menyebut manusia sebagai “human animal”. Namun, Anak bukanlah buruh apalagi
binatang pacuan! Lalu bagaimana cara mendidik anak yang paling baik?
“Anakmu bukanlah anakmu! Mereka adalah putra-putri kehidupan yang merindu!”,
demikian kata Khalil Gibran. Apakah maksudnya itu? Sebagai muslim kita
semestinya mengacu kepada Al Qur’an untuk menjawab pertanyaan tersebut. Banyak
sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan hakekat seorang manusia.
Siapakah Anak Kita?
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An Nahl: 78)
Oleh karena itu, maka
inti dari parenting adalah mengingatkan, menyampaikan kebenaran, mendidik
dengan kesabaran dan kasih sayang.
1. Mengingatkan
1. Mengingatkan
Mengingatkan
adalah kata kunci atau prinsip pertama dalam pendidikan anak atau “parenting”.
Artinya, pendidikan bukanlah “memaksakan”, ataupun “mengarahkan”, yang sering
dimaknai dengan mengarahkan sesuai keinginan orang tua atau keinginan
masyarakat. Pendidikan anak atau “parenting” juga bukan dalam rangka “mencetak”
pribadi-pribadi anak yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat,
karena “cetakan” tersebut akan ketinggalan jaman begitu anak tumbuh dewasa.
Pada intinya yang perlu kita lakukan pada anak atau anak didik adalah sesuatu
yang tidak temporer. Yang kita harus lakukan pada anak atau anak didik adalah
mengingatkan mereka untuk berpegang pada sesuatu yang abadi dan universal,
yaitu Kebenaran.
Sesuatu yang menyeret
pada kelalaian itu biasanya sekedar mode, karena banyak orang melakukannya,
namun hanya dalam kurun waktu tertentu. Termasuk di dalamnya adalah gaya hidup
masyarakat yang berubah-ubah, atau kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam
bidang pendidikan. Pendidikan maupun parenting pada prinsipnya adalah
melindungi anak dari berbagai macam ancaman dunia yang akan menyeret mereka ke
jalan yang sesat. Seperti halnya para Nabi dan Rasul yang bertugas untuk
meluruskan kembali umatnya yang melenceng dari jalan yang lurus. Jalan yang
lurus itu adalah jalan yang sederhana, namun sifatnya abadi dan universal.
Itulah jalan kebenaran. Oleh arena itu kita perlu memahami apakah kebenaran
itu.
2. Kebenaran
Sebagai muslim kita
sudah sangat mengenal doktrin-doktrin tentang kebenaran, yaitu Al Qur’an dan
Hadist. Untuk memahami strategi mendidik yang mengarah pada Kebenaran tersebut,
kita perlu ingat bahwa ada tiga “instrument” untuk belajar yang sudah
dikaruniakan Allah pada semua manusia, yaitu: pendengaran, penglihatan, dan
hati. Artinya dalam mendidik anak, kita harus selalu “menyuapi” pendengaran,
penglihatan, dan hati mereka dengan kebenaran.
Pendengaran
adalah instrumen untuk menangkap kata-kata. Sebagai orang tua atau guru kita
harus menjaga kata-kata kita karena kata-kata itu akan mempengaruhi jiwa anak
atau anak didik kita. Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Berkata-katalah
dengan bijak dan lemah lembut, karena melalui pendengaran anak-anak akan
belajar tentang sekelilingnya, dan akhlak mereka akan terbentuk. Sedangkan penglihatan
adalah instrumen yang akan menangkap perilaku dan peristiwa yang terjadi di
sekeliling mereka. Anak-anak akan menirukan apa yang mereka lihat. Oleh karena
itu berperilakulah yang benar, bertindaklah sedemikian rupa agar Anda dapat
menjadi teladan bagi anak-anak Anda. Hati adalah instrumen untuk menangkap
cinta. Ketika kita salah bicara atau membuat kesalahan dalam berperilaku,
berkomunikasilah dengan hati. Jagalah hati kita untuk tetap mencintai anak
kita, Jangan sampai kekesalan dan kemarahan kita menumbuhkan benci dalam hati
kita. Cinta akan memancar dari hati kita dan akan dirasakan oleh hati anak
kita. Cinta adalah komunikasi dari hati ke hati tanpa perlu kata-kata dan tanpa
harus ditunjuk-tunjukkan dengan perbuatan yang tidak wajar atau berlebihan.
Ingat bahwa putus asa
adalah dosa, dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar adalah prinsip ke
tiga dalam mendidik anak. Dalam Al Qur’an surat Al Anfal ayat 28, Allah
mengingatkan “bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Mungkin kita merasa
kemampuan kita terbatas dan sudah tidak mampu lagi untuk menyampaikan kebenaran
pada anak kita. Dalam situasi yang seolah sudah di luar batas kemampuan kita
tersebut kita harus ingat bahwa Allah akan menolong kita jika kita
bersabar.
3. Kesabaran
Sabar adalah suatu
pilihan sikap sekaligus perilaku yang mengandung muatan emosi yang kuat. Sedangkan
Emosi harus dikendalikan dengan keimanan. Untuk dapat betul-betul bersabar kita
harus memiliki keimanan. Keimanan bahwa Allah Maha Bijaksana dan Allah akan
memberikan jalan keluar terbaik bagi permasalahan kita. Dalam kaitannya dengan
pendidikan anak, kita harus yakin bahwa anak kita, hati anak kita, ada dalam
genggaman Allah, dan Allah akan menunjukkan jalan yang benar. Ada beberapa
orangtua yang merasa tak berdaya untuk “mengendalikan” anaknya kemudian
bersikap masa bodoh lalu seolah memutuskan hubungan orantua-anak. Kadang
mungkin dengan ungkapan “sudah saya ikhlaskan dia di jalan yang sesat”.
Sikap-sikap yang bernada putus asa tersebut adalah indikasi dari hilangnya
kesabaran. Hilangnya kesabaran berarti kegagalan dalam mengemban tugas sebagai
pembimbing dan penjaga anak yang sudah diamanahkan pada kita.
Sabar juga
berlawanan dengan tergesa-gesa. Kadang dalam mendidik anak kita ingin serba
cepat; cepat pintar, cepat lulus, cepat besar, cepat mandiri, cepat sukses, dan
lain sebagainya. Dalam ketergesa-gesaan tersebut sering, sengaja atau tidak,
kita memaksakan kehendak kita terhadap anak. Kadang kehendak kita tersebut
dilakukan demi memenuhi “tuntutan zaman”. “Tuntutan zaman” sesungguhnya adalah
salah satu bentuk mode atau gaya hidup saja. Biasanya ketika kita tergesa-gesa
untuk mengikuti tuntutan zaman, kita akan mengalami kekecewaan di kemudian hari
karena tuntutan zaman tersebut akan selalu berubah. Keterjebakan kita dalam memaksakan
kehendak pada anak-anak untuk mengikuti tuntutan zaman menyebabkan kita lupa
pada hakekat pendidikan anak, yaitu menjaganya agar tetap pada fitrahnya yang
suci. Anak menjadi bahan eksploitasi untuk kepentingan orangtua, demi nama baik
orangtua, agar dapat dibangga-banggakan di depan umum. Anak diperlakukan
layaknya seperti “investasi” untuk menjamin kehidupan orangtua di masa depan.
Jika hal ini terjadi maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya kering
dari kasih sayang. Padahal ketika hati menjadi keras, kepandaian dan kesuksesan
tidak akan bermanfaat, tapi justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah.
Oleh karena itu, untuk memperkuat kesabaran kita, selalu mengingatkan anak-anak
kita dengan kasih sayang, atau kelembutan hati dan perlakuan.
4. Kasih Sayang
4. Kasih Sayang
Kasih sayang adalah
ketulusan kita dalam mendidik anak demi kebaikan anak itu sendiri. Kasih sayang
adalah keridhoan kita mengemban amanah yang diberikan Allah. Anak adalah amanah,
titipan, bukan hak milik. Mengingatkan dengan kasih sayang artinya tidak ada
kepentingan pribadi orangtua terhadap perilaku anaknya. Ketika kita mendidik
anak dengan kasih sayang artinya tidak ada sakit hati yang disebabkan oleh
perilaku anak, apapun perilaku tersebut. Kasih sayang juga berarti bahwa orang
tua sudah memaafkan dan selalu memaafkan kelakuan sang anak, dan tidak pernah
menolak ketika anak kembali. Dengan adanya kasih sayang, hati orangtua terbuka
lebar, bagi anak-anaknya. Dengan kasih sayang anak akan memiliki “trust” yang
kuat, dan mereka akan tabah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Pribadi yang kuat adalah yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kasih
sayang. Kasih sayang memiliki kekuatan terapeutik terhadap hati anak-anak yang
mungkin telah tersesat dan tergoda oleh tipuan kehidupan dunia. Waallahu’alam.
Semoga bermanfaat.
Sumber: Islamic Psychology Learning Forum Psikologi UGM oleh Dr.
Bagus Riyono MA.